Selamat Datang Keluarga Besar TRAYUTAMA yang mau mampir kesini

SEJARAH KOPASSUS


Komando Pasukan Khusus yang disingkat menjadi Kopassus adalah bagian dari Bala Pertahanan Pusat yang dimiliki oleh TNI Angkatan Darat yang memiliki kemampuan khusus seperti bergerak cepat di setiap medan, menembak dengan tepat, pengintaian, dan anti teror.
Dalam perjalanan sejarahnya, Kopassus berhasil mengukuhkan keberadaannya sebagai pasukan khusus yang mampu menangani tugas-tugas yang berat. Beberapa operasi yang dilakukan oleh Kopassus diantaranya adalah operasi penumpasan DI/TII, operasi militer PRRI/Permesta, Operasi Trikora, Operasi Dwikora, penumpasan G30S/PKI, Pepera di Irian Barat, Operasi Seroja di Timor Timur, operasi pembebasan sandera di Bandara Don Muang-Thailand (Woyla), Operasi GPK di Aceh, operasi pembebasan sandera di Mapenduma, serta berbagai operasi militer lainnya. Dikarenakan misi dan tugas operasi yang bersifat rahasia, mayoritas dari kegiatan tugas daripada satuan KOPASSUS tidak akan pernah diketahui secara menyeluruh. Contoh operasi KOPASSUS yang pernah dilakukan dan tidak diketahui publik seperti: Penyusupan ke pengungsi Vietnam di pulau Galang untuk membantu pengumpulan informasi untuk di kordinasikan dengan pihak Amerika Serikat (CIA), penyusupan perbatasan Malaysia dan Australia dan operasi patroli jarak jauh (long range recce) di perbatasan Papua nugini.
Prajurit Kopassus dapat mudah dikenali dengan baret merah yang disandangnya, sehingga pasukan ini sering disebut sebagai pasukan baret merah. Kopassus memiliki moto Berani, Benar, Berhasil.

KESKO TT III/SILIWANGI  16 APRIL 1952
 Kolonel A.E Kawilarang
Pada tanggal 16 April 1952, Kolonel A.E. Kawilarang mendirikan Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (Kesko TT). Ide pembentukan kesatuan komando ini berasal dari pengalamannya menumpas gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku. Saat itu A.E. Kawilarang bersama Letkol Slamet Riyadi (Brigjen Anumerta) merasa kesulitan menghadapi pasukan komando RMS. A.E. Kawilarang bercita-cita untuk mendirikan pasukan komando yang dapat bergerak tangkas dan cepat.
Komandan pertama saat itu adalah Idjon Djanbi. Idjon Djanbi adalah mantan kapten KNIL Belanda kelahiran Kanada, yang memiliki nama asli Kapten Rokus Bernardus Visser. Pada tanggal 9 Februari 1953, Kesko TT dialihkan dari Siliwangi dan langsung berada di bawah Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD).
KKAD  18 MARET 1953
Pada tanggal 18 Maret 1953 Mabes ABRI mengambil alih dari komando Siliwangi dan kemudian mengubah namanya menjadi Korps Komando Angkatan Darat (KKAD).
 
RPKAD  25 JULI 1955
Tanggal 25 Juli 1955 organisasi KKAD ditingkatkan menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang tetap dipimpin oleh Mochamad Idjon Djanbi.
Tahun 1959 unsur-unsur tempur dipindahkan ke Cijantung, di timur Jakarta. Dan pada tahun 1959 itu pula Kepanjangan RPKAD diubah menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Saat itu organisasi militer itu telah dipimpin oleh Mayor Kaharuddin Nasution.
Pada saat operasi penumpasan DI/TII, komandan pertama, Mayor Idjon Djanbi terluka, dan akhirnya digantikan oleh Mayor RE Djailani.


 Paling Kiri Mayor Muhammad Idjon Djanbi dan Paling Kanan Kol. Sarwo Edhie Wibowo mertua SBY


PUSPASSUS AD  12 DESEMBER 1966
Pada tanggal 12 Desember 1966, RPKAD berubah pula menjadi Pusat Pasukan Khusus AD (Puspassus AD). Nama Puspassus AD ini hanya bertahan selama lima tahun. Sebenarnya hingga tahun 1963, RPKAD terdiri dari dua batalyon, yaitu batalyon 1 dan batalyon 2, kesemuanya bermarkas di Jakarta. Ketika, batalyon 1 dikerahkan ke Lumbis dan Long Bawan, saat konfrontasi dengan Malaysia, sedangkan batalyon 2 juga mengalami penderitaan juga di Kuching, Malaysia, maka komandan RPKAD saat itu, Letnan Kolonel Sarwo Edhie -karena kedekatannya dengan Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani, mengusulkan 2 batalyon 'Banteng Raider' bentukan Ahmad Yani ketika memberantas DI/TII di Jawa Tengah di upgrade di Batujajar, Bandung menjadi Batalyon di RPKAD, masing-masing Batalyon 441"Banteng Raider III", Semarang ditahbiskan sebagai Batalyon 3 RPKAD di akhir tahung 1963. Menyusul kemudian Batalyon Lintas Udara 436 "Banteng Raider I", Magelang menjadi Batalyon 2 menggantikan batalyon 2 lama yang kekurangan tenaga di pertengahan 1965. Sedangkan Batalyon 454 "Banteng Raider II" tetap menjadi batalyon di bawah naungan Kodam Diponegoro. Batalyon ini kelak berpetualang di Jakarta dan terlibat tembak menembak dengan Batalyon 1 RPKAD di Hek.


KOPASSANDHA  17 FEBRUARI 1971
Tanggal 17 Februari 1971, resimen tersebut kemudian diberi nama Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha).
Dalam operasi di Timor Timur pasukan ini memainkan peran sejak awal. Mereka melakukan operasi khusus guna mendorong integrasi Timtim dengan Indonesia. Pada tanggal 7 Desember 1975, pasukan ini merupakan angkatan utama yang pertama ke Dili. Pasukan ini ditugaskan untuk mengamankan lapangan udara. Sementara Angkatan Laut dan Angkatan Udara mengamankan kota. Semenjak saat itu peran pasukan ini terus berlanjut dan membentuk sebagian dari kekuatan udara yang bergerak (mobile) untuk memburu tokoh Fretilin, Nicolau dos Reis Lobato pada Desember 1978. Prestasi yang melambungkan nama Kopassandha adalah saat melakukan operasi pembebasan sandera yaitu para awak dan penumpang pesawat DC-9 Woyla Garuda Indonesian Airways yang dibajak oleh lima orang yang mengaku berasal dari kelompok ekstremis Islam "Komando Jihad" yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, 28 Maret 1981. Pesawat yang tengah menerbangi rute Palembang-Medan itu sempat didaratkan di Penang, Malaysia dan akhirnya mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok. Di bawah pimpinan Letkol Sintong Panjaitan, pasukan Kopassandha mampu membebaskan seluruh sandera dan menembak mati semua pelaku pembajakan. Korban yang jatuh dari operasi ini adalah Capa (anumerta) Achmad Kirang yang meninggal tertembak pembajak serta pilot Kapten Herman Rante yang juga ditembak oleh pembajak. Imran bin Muhammad Zein ditangkap dalam peristiwa tersebut dan dijatuhi hukuman mati.
Pada tahun 1992 menangkap penerus Lobato, Xanana Gusmao, yang bersembunyi di Dili bersama pendukungnya.


KOPASSUS  26 DESEMBER 1986
Dengan adanya reorganisasi di tubuh ABRI, sejak tanggal 26 Desember 1986, nama Kopassandha berubah menjadi Komando Pasukan Khusus yang lebih terkenal dengan nama Kopassus hingga kini.
ABRI selanjutnya melakukan penataan kembali terhadap grup di kesatuan Kopassus. Sehingga wadah kesatuan dan pendidikan digabungkan menjadi Grup 1, Grup 2, Grup 3/Pusdik Pasuss, serta Detasemen 81.
Sejak tanggal 25 Juni 1996 Kopasuss melakukan reorganisasi dan pengembangan grup dari tiga Grup menjadi lima Grup.
  • Grup 1/Parakomando — berlokasi di Serang, Banten
  • Grup 2/Parakomando — berlokasi di Kartasura, Jawa Tengah
  • Grup 3/Pusat Pendidikan Pasukan Khusus — berlokasi di Batujajar, Jawa Barat
  • Grup 4/Sandhi Yudha — berlokasi di Cijantung, Jakarta Timur
  • Grup 5/Anti Teror — berlokasi di Cijantung, Jakarta Timur
Detasemen 81, unit anti teroris Kopassus, ditiadakan dan diintegrasikan ke grup-grup tadi. Sebutan bagi pemimpin Kopassus juga ditingkatkan dari Komandan Kopassus yang berpangkat Brigjen menjadi Komandan Jendral (Danjen) Kopassus yang berpangkat Mayjen bersamaan dengan reorganisasi ini.

Struktur Satuan Kopassus

Perbedaan struktur dengan satuan infanteri lain
Struktur organisasi Kopassus berbeda dengan satuan infanteri pada umumnya. Meski dari segi korps, para anggota Kopassus pada umumnya berasal dari Korps Infanteri, namun sesuai dengan sifatnya yang khusus, maka Kopassus menciptakan strukturnya sendiri, yang berbeda dengan satuan infanteri lainnya.
Kopassus sengaja untuk tidak terikat pada ukuran umum satuan infanteri, hal ini tampak pada satuan mereka yang disebut Grup. Penggunaan istilah Grup bertujuan agar satuan yang dimiliki mereka terhindar dari standar ukuran satuan infanteri pada umumnya (misalnya Brigade). Dengan satuan ini, Kopassus dapat fleksibel dalam menentukan jumlah personel, bisa lebih banyak dari ukuran brigade (sekitar 5000 personel), atau lebih sedikit.

Lima Grup Kopassus


Secara garis besar satuan dalam Kopassus dibagi dalam lima Grup, yaitu:
Kecuali Pusdikpassus, yang berfungsi sebagai pusat pendidikan, Grup-Grup lain memiliki fungsi operasional (tempur). Dengan demikian struktur Pusdikpassus berbeda dengan Grup-Grup lainnya. Masing-masing Grup (kecuali Pusdikpassus), dibagi lagi dalam batalyon, misalnya: Yon 11, 12 dan 13 (dari Grup 1), serta Grup 21, 22 dan 23 (dari Grup 2).

Jumlah personel

Karena Kopassus merupakan pasukan khusus, maka dalam melaksanakan operasi tempur, jumlah personel yang terlibat relatif sedikit, tidak sebanyak jumlah personel infanteri biasa, dengan kata lain tidak menggunakan ukuran konvensional mulai dari peleton hingga batalyon. Kopassus jarang sekali (mungkin tidak pernah) melakukan operasi dengan melibatkan kekuatan satu batalyon sekaligus.

Istilah di kesatuan

Karena berbeda dengan satuan pada umumnya, satuan di bawah batalyon bukan disebut kompi, tetapi detasemen, unit atau tim. Kopassus jarang melibatkan personel yang banyak dalam suatu operasi. Supaya tidak terikat dengan ukuran baku pada kompi atau peleton, maka Kopassus perlu memiliki sebutan tersendiri bagi satuannya, agar lebih fleksibel.

Pangkat komandan

  • Komandan Grup berpangkat Kolonel,
  • Komandan Batalyon berpangkat Letnan Kolonel,
  • Komandan Detasemen, Tim, Unit, atau Satuan Tugas Khusus, adalah perwira yang pangkatnya disesuaikan dengan beban tugasnya (mulai Letnan sampai Mayor).

Daftar Komandan Kopassus

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Komandan Jendral Kopassus
Saat ini, Kopassus di pimpin oleh seorang Komandan Jendral (Danjen) yang berpangkat Mayor Jendral. Saat ini jabatan Danjen diduduki oleh Mayjen TNI Wisnu Bawatenaya

Isu dan berita yang terkait dengan Kopassus

Nama besar dan citra yang disandang Kopassus sejak didirikannya menyebabkan banyaknya pihak yang menarik-narik Kopassus untuk masuk kedalam kegiatan bernuansa politis. Kopassus sejak dulu telah menjadi tempat persemaian perwira-perwira muda potensial, yang kelak mengisi pos-pos jabatan pimpinan TNI. Nama-nama seperti Benny Moerdani, Sintong Panjaitan, Yunus Yosfiah, Agum Gumelar, Hendropriyono, Prabowo Subianto, dan lain-lain, adalah perwira-perwira yang sudah dikenal publik, saat mereka masih berpangkat Kapten atau Mayor, berkat prestasi mereka di lapangan.

Pengangkatan Prabowo

Pengangkatan Prabowo sendiri, yang kebetulan adalah menantu Soeharto, telah menimbulkan banyak gunjingan publik padahal jika di telaah lebih jauh Prabowo memang seorang yang cerdas dan banyak tugas-tugas yang diselesaikan dengan gemilang. Dia seorang prajurit yang jenius, menguasai teknik berperang secara baik dan komunikasi verbal yang bagus dibuktikan dengan menguasai beberapa bahasa seperti Inggris dan perancis secara fasih.

Kasus putra Subagyo HS

Nama lain yang ikut tercoreng adalah Subagyo HS, yang sempat menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad). Nama Subayo tercoreng oleh ulah putranya, Agus Isrok[1], yang kebetulan juga berdinas di Kopassus dan berpangkat letnan. Agus, yang pada mulanya berusaha menyembunyikan identitasnya, tertangkap dalam pesta obat-obatan terlarang (shabu-shabu) di sebuah hotel tempat pusat hiburan di Jakarta. Menurut dugaan, Agus bukan hanya sekadar pemakai melainkan juga pengedar narkoba. Diperkirakan karena kekuasaan ayahnya, Agus lolos dari jerat hukum. Pada tahun 2007 Agus Isrok diketahui masih aktif di militer dengan pangkat Kapten. Kasus ini menegaskan apa yang sudah menjadi rahasia umum bahwa Kopassus pada khususnya dan ABRI pada umumnya terlibat dalam bisnis-bisnis illegal di Indonesia. Menurut sebuah sumber dari media terkemuka di Indonesia yang enggan disebut namanya, Kopassus telah lama menggunakan uang perolehan dari bisnis obat terlarang, minuman, dan hiburan untuk membiayai aksi dan operasi militernya yang memakan tidak sedikit biaya, yang secara budgetair tidak semuanya dilaporkan secara internal maupun eksternal di ABRI.

Kasus penculikan aktivis reformasi

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Penculikan aktivis 1997/1998
Pada tahun 1998, nama Kopassus sempat tercoreng berkaitan dengan aktivitas Tim Mawar yang dituding bertanggung jawab terhadap kegiatan penculikan dan penghilangan nyawa beberapa aktivis pro demokrasi. Nama Kopassus kembali tercoreng setelah Peristiwa Mei 1998, ketika banyak hasil penelitian tim pencari fakta independen menemukan adanya organisasi terstruktur rapi dalam militer yang dengan sengaja dan maksud tertentu menyulut kerusuhan massa di Jakarta dan Surakarta (kedua kota tersebut secara kebetulan adalah daerah basis/markas Kopassus, yaitu Cijantung-Jakarta dan Kandang Menjangan-Surakarta). Pada 2007 masalah Tim Mawar ini kembali mencuat ke permukaan melihat kenyataan bahwa 11 tentara yang terlibat (6 di antaranya dipecat pada 1999), ternyata tidak jadi dipecat tetapi tetap meniti karier, naik pangkat dan beberapa diketahui memegang posisi-posisi penting seperti Dandim dengan pangkat kolonel. Panglima TNI menyatakan hanya 1 dari 6 perwira tersebut yang benar-benar dipecat.

Membungkuknya Danjen Kopassus di depan Tommy Soeharto

Pada tahun 2007, Kopassus kembali tercoreng dengan insiden pembungkukan Danjen Kopassus di depan Tommy Soeharto. Hal ini mengesankan Kopassus masih tunduk kepada kekuasaan Soeharto. Pada acara hari ulang tahun kopassus, Tommy dan Bambang Trihatmodjo Soeharto hadir di Kandang Menjangan Group II Kopassus Solo sebagai peserta lomba tembak terbuka yang digelar pada 23 April 2007. Pada saat bersalaman dengan Tommy, Mayjen TNI Rasyid Qurnuen Aquary (Danjen Kopassus) terlihat membungkuk di depan putra presiden Suharto itu, dan kejadian ini terekam kamera wartawan. Foto membungkuknya Danjen Kopassus ini beredar luas di masyarakat bahkan sampai ke Amerika Serikat dan Australia. Pemerintah Amerika Serikat melalui Asisten Menlu AS Urusan Asia Pasifik, Christopher Hill menanyakan secara resmi mengenai peristiwa ini kepada Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono di Jakarta.
Menurut Menteri, Danjen Kopassus hanya memberikan ucapan selamat atas prestasi Tommy pada kompetisi tersebut.[1]

PERINGKAT PASUKAN ELIT DUNIA

1. England SAS (Special Air Service)
2. Mossad Israel
3. Indonesian KOPASSUS
4. Russian Spetsnaz
5. French GIGN
DANA BOSS 2012, KEMENDIKBUD ANGGARKAN 23,5 T

REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menganggarkan dana sebesar Rp 23,5 triliun untuk 27,2 juta siswa sekolah dasar dan 9,4 juta siswa SMP untuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun 2012.

"Dana BOS tahun depan naik rata-rata 40 persen. Dengan demikian ke depan tidak boleh ada lagi pungutan-pungutan untuk kepentingan operasional sekolah," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pada sosialisasi BOS 2012 di Jakarta, Selasa (13/12) malam.

Untuk memperlancar proses pencairan, katanya, mekanisme penyaluran dana BOS 2012 mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan tahun 2011.

Dana BOS pada 2012 akan ditransfer dari kas umum negara ke kas umum provinsi, lalu dari kas umum provinsi akan ditransfer langsung ke sekolah dalam bentuk hibah. Dana hibah tersebut diberikan, baik sekolah negeri maupun swasta.

Penyaluran BOS 2012 ke sekolah akan disalurkan tiga bulan sekali. "Saat ini sedang diidentifikasi sekolah-
sekolah yang berada di daerah sulit. Untuk daerah seperti ini penyaluran dana BOS akan dilakukan enam bulan sekali," kata Mendikbud.

Kepada para peserta sosialisasi BOS, DAK, rehabilitasi sekolah yang terdiri atas dinas pendidikan seluruh
Indonesia, ia mengatakan BOS harus disalurkan tepat waktu, tepat jumlah, tepat sasaran dan manfaat.

Nuh menyampaikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2012 juga telah menganggarkan Rp 1 triliun untuk penyaluran dana BOS bagi sembilan juta siswa SMA/SMK pada tahun 2012. Dana BOS bagi siswa SMA/SMK memang akan mulai dirintis oleh Kemdikbud pada 2012.

Program ini sebagai upaya untuk mewujudkan wajib belajar 12 tahun, dengan nominal sebesar Rp 120 ribu per tahun untuk setiap siswa. "Ini murni dana BOS, bukan beasiswa miskin. Untuk siswa miskin sudah ada dalam beasiswa miskin" kata Nuh.

Mendikbud mengakui, dana BOS tersebut belum mampu menutupi seluruh kebutuhan operasional sekolah. BOS untuk siswa SMA/SMK ini baru merupakan sebuah rintisan untuk membangun sistem yang baik sebelum dana tersebut dialokasikan dalam jumlah yang lebih besar.

Perubahan DAK
Mengenai DAK, Mendikbud menyatakan ada perubahan signifikan, yakni DAK khusus 2012 tidak lagi memerlukan persetujuan DPR untuk pembuatan petunjuk teknisnya dan untuk mendapatkan DAK tidak perlu tender. Namun DAK tersebut diprioritaskan untuk pembangunan sekolah yang rusak berat yang terdapat di kabupaten.

"Alokasi DAK 2012 sebesar Rp10,0413 triliun dengan rincian SD/SLB sebesar Rp8,03304 triliun untuk SMP sebesar Rp2,00826 triliun," kata Mendikbud.

Untuk 'block grant' rehabilitasi ruang belajar tahun anggaran 2011 dan 2012 di wilayah geografis sulit, daerah perbatasan atau rawan konflik dilaksanakan kerja sama dengan TNI.

Sementara Plt Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud Suyanto pada sosialisasi program BOS mengatakan pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan dasar. "Untuk penyaluran BOS 2012 pada minggu kedua bulan Januari diharapkan sudah bisa diterima daerah," tuturnya.

Suyanto mengatakan, dana bantuan operasional sekolah, dana alokasi khusus dan rehabilitasi sekolah merupakan program besar yang telah dijalankan bertahun-tahun, karena ada berbagai perubahan dan perbaikan mekanisme maka perlu sesegera mungkin disosialisasikan.

Sebagai contoh, sepertinya adanya perubahan pada petunjuk teknis program BOS tahun 2012. Mendikbud menegaskan kepada para peserta sosialisasi BOS, DAK, rehabilitasi sekolah yang terdiri dinas pendidikan seluruh Indonesia bahwa BOS harus disalurkan tepat waktu, tepat tepat sasaran dan manfaat.

GURU AGAMA SMAN BERBUAT MESUM DI HOTEL


DPRD Pamekasan, Jawa Timur, berencana memanggil salah seorang guru agama di sebuah SMAN di wilayah itu yang tertangkap berbuat mesum di salah satu hotel dalam sebuah operasi yang digelar Satpol PP pada bulan Ramadhan ini.

Ketua Komisi D DPRD Pamekasan, Makmun, Senin, mengatakan langkah tersebut ditempuh karena perbuatan itu jelas sangat mencemarkan citra pendidikan di Kabupaten Pamekasan, apalagi pelakunya adalah seorang guru agama. "Selain akan memanggil yang bersangkutan, kami juga akan meminta penjelasan terhadap Dinas Pendidikan terkait persoalan ini," kata Makmun.

Oknum guru agama di salah satu SMA negeri di Pamekasan yang tertangkap petugas berbuat mesum di salah satu hotel di Pamekasan itu berinisial MH dan RZ. Keduanya sudah memiliki pasangan suami dan istri masing-masing. "Kami sangat kecewa dengan hal ini. Selain bulan Ramadhan, pelakunya juga merupakan oknum guru agama yang kesehariannya mendidik ilmu agama," ucap Makmun.

Instansi lain yang rencananya akan dipanggil terkait kasus perbuatan mesum oknum guru agama di lingkungan Dinas Pendidikan Pamekasan kali ini adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Inspektorat Pemkab Pamekasan.

Makmun juga menegaskan, dewan akan meminta Pemkab memberikan sanksi tegas kepada oknum guru yang ketahuan berbuat mesum di bulan Ramadhan tersebut, apalagi yang bersangkutan merupakan guru agama.

Perbuatan mesum yang dilakukan oleh oknum guru agama SMAN Pamekasan tertangkap dalam sebuah operasi yang digelar Satpol PP selama Ramadhan. Jenis penyakit masyarakat lainnya yang juga terdeteksi petugas adalah minum-minuman keras, perjudian dan pencurian.

Menurut Kasi Operasi dan Ketertiban Umum Satpol PP Pamekasan M Bahri, operasi yang digelar Satpol PP selama Ramadhan bertujuan untuk menciptakan suasana kondusif selama bulan suci, sekaligus sebagai bentuk pelaksanaan dari amanat Perbup yang meminta agar masyarakat ikut menciptakan suasana Islami.
Sumber : Bisnisonlinesnews.blogspot.com

Oknum Pengurus MUI Digerebek di Kamar Hotel

Sungguh ironis, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Situbondo sebagai salah satu ormas Islam yang selalu menyerukan Amar Makruf Nahi Mungkar atau memberantas kemaksiatan, ternyata telah dicederai oleh perbuatan mesum salah satu pengurusnya berinisial Fthr, berbuat mesum di kamar hotel.

Warga Mangaran Situbondo Jawa Timur itu diketahui menjabat sebagai Humas MUI Kabupaten Situbondo. Oknum tersebut kepergok petugas di sebuah kamar hotel, diduga kuat ia telah melakukan tindakan asusila dengan perempuan yang bukan muhrimnya.

Perbuatan mesum yang dilakukan oknum pengurus MUI itu terungkap saat digelar Operasi Penyakit Masyarakat ( Pekat ) pada Senin malam (14/11/2011), yang dilakukan Komando Pelaksana Ketertiban Kabupaten (Kopeltibkab) Situbondo yang meliputi Kepolisian, Satpol PP dan TNI.

Sayangnya, dalam razia tersebut petugas tebang pilih, hal itu terbukti dengan tindakan petugas yang tidak menciduk oknum pengurus MUI yang juga sebagai salah satu wartawan sebuah media harian itu, meski kepergok berduaan dengan wanita selingkuhannya berinisial Smy, warga kelurahan Mimbaan di kamar hotel.

Meski sempat terjadi perselisihan dengan polisi, yang menghendaki pasangan mesum itu diciduk, namun petugas Satpol PP membiarkan mereka tetap berada di tempat. Dalam penggerebekan di hotel Wisata Indah, petugas hanya menciduk dua pasangan mesum yang berada di kamar lain. Santoso, petugas receptionist Hotel Wisata Indah membenarkan adanya penggerebekan terhadap oknum Pengurus MUI berinisial Fthr tersebut. Diketahui, Fthr kerap kali masuk kamar hotel dengan perempuan yang sama.

"Tidak ada KTP nya mas, karena dia (Fthr-red) sudah langganan di hotel ini, saat itu dia check-in di kamar nomor 5. Sedangkan dua pasangan mesum lainnya diciduk di kamar nomor 17 dan 18," terang Santoso.

"Saya tidak tahu kenapa penyewa kamar nomor 5 tidak ditangkap petugas. Tanya saja pada Satpol PP," tegasnya lagi.

Perbuatan mesum yang dilakukan oknum pengurus MUI tersebut mengundang reaksi keras sejumlah ulama setempat. Salah satunya KH. Abdullah Waqih Gufron yang akrab dipanggil Gus Faqih menyatakan perbuatan oknum Pengurus MUI tersebut sangat mencemari nama baik ormas Islam dan ulama.

"Innalilahi Wainna Ilahi Rajiun... Itu berita duka bagi MUI. Pengurus MUI seharusnya menyerukan kebaikan dan mencegah perbuatan maksiat bukan malah melakukan perbuatan yang di laknat Allah SWT, pantasnya dia dirajam di tengah alun-alun kota" tegasnya.

Menurut Gus Fakih, perbuatan oknum itu sangat kontradiktif dengan program MUI. Padahal beberapa bulan lalu MUI menyebarkan seruan anti maksiat dengan mengirim surat ke hotel-hotel dan penginapan.

"MUI telah melakukan gebrakan seruan anti maksiat, setiap hotel diberi surat agar tamu hotel yang menginap harus melampirkan KTP dan surat nikah. Tapi ternyata oknum pengurus MUI sendiri yang melakukan maksiat. Terus dibawa ke mana lembaga ormas MUI itu" imbuh Kyai yang dikenal dekat dengan pers.

Sementara itu Sekretaris MUI, Haji Hamid saat dikonfirmasi memilih menghindar terkait dugaan perbuatan mesum Fthr yang digerebek di sebuah kamar hotel. Saat dihubungi lewat HP nya, Hamid mengaku sibuk dengan alasan masih ada acara. Namun lucunya dia malah kirim SMS berbunyi "Ada wartawan telp saya barusan nanya kepastian berita se situ (maksudnya Fthr), saya bilang msh ada acr. maaf." Rupanya Hamid salah kirim SMS, yang seharusnya dikirim ke Fthr malah terkirim pada orang yang baru meneleponnya. (gusti)

Sumber : Kapanlagi.com


MULTIKULTURALISME DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Topik: pendidikan multikultural

(Sebuah Kajian Awal)
Oleh : Muhaemin el-Ma'hady

A. Pendahuluan

Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi September 11 dan invasi Amerika Serikat ke Irak serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan keragaman dan antar kelompok di Indonesia.

Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama.

Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.

Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata "uh. huh". Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.

Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya "keahlian" yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.

Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk metril maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam" misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah.

Dalam konteks pendapat yang ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Wacana ini mulai ramai terdengar di kalangan akademis, praktisi budaya dan aktifis di awal tahun 2000 di Indonesia.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai kajian tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai bahan kajian lanjutan untuk mengetahui corak, peluang dan tantangan pendidikan multikultural di Indonesia.

B. Perjalanan Multikulturalisme dan Wacana Pendidikan Multikultural

Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.

Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:

Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.

Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturalisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo-Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama "Indian" adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada.

Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sd sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.

Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan multi-lingual".

Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".

Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.

Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.

Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan:

- Content integration

mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.

-The Knowledge Construction Process

Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)

-An Equity Paedagogy

Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.

-Prejudice Reduction

Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka

- Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.

Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu;

1. Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.

2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.

3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.

4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.

Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.

Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.

Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.

Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.

C. Wacana Multikulturalisme dan Pendidikan multikultural di Indonesia

Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.

Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.

Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.

Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah.

Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan amsuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.

Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.

Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.

Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:

Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.

Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.

Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.

Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.

Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.

2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.

3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.

4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.

5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.

Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.

Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.

Penutup

Pendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.

Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras dan lain sebagainya dalam pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang membedakannya adalah ketakwaan mereka kepada Allah Swt. Dalam Islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam bidang ilmu.

Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.

Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural tersebut. Bila tidak disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai andil dalam menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah gegap gempita lagu nyaring "tentang kurikulum berbasis kompetensi", harus menyelinap dalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan "ini" dan "itu", tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang beragam tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Munawwar, Said Aqil Husin, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur'ani dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2003, Cet. I

Amir, Muhammad, Konsep Masyarakat Islam, Jakarta, Fikanati, Aneska, 1992.

Analisis CSIS, tahun XXX/2001, No. 3

DEPAG RI dan IRD, Majalah: Inovasi Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalism, Edisi IV, Tahun 2003

Dewey, John, Democracy and Education, New York: The Mac Millan Company, 1964

Hery Noer Aly dkk, Watak Pendidikan Islam, Jakarta, Friska Agan Insani, 2000

Freire, Paulo, Pendidikan pembebasan, Jakarta, LP3S, 2000

IKA UIN Syarif Hidayatullah, Majalah: Tsaqafah: Mengagas Pendidikan Multikultural , Vol. I No:2, 2003

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2001, cet I

Nita E. Woolfolk, educational Psychology: Seventh Edition, The Ohio State Universiy, 1998

Paul Gorski, Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The Question We Should Be Asking, dalam www. Edchange.org/multicultural

Republika, tanggal 03 September 2003.

Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai Wahana mencerdaskan kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, Jakarta, CINAPS, 2000, cet. I

Stavenhagen, Rudolfo, "Education for a Multikultural world", in Jasque Delors (et all), Learning: the treasure within, Paris, UNESCO, 1996

Tilaar, H. A. R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002